MUSIK INKULTURASI LITURGI
GEREJA KATOLIK DI PAPUA
Septina
Rosalina Layan
Sejak
dilaksanakannya Konsili Vatikan Ke II pada tahun 1962-1965, gereja Katolik
memberikan ruang yang besar kepada unsur-unsur budaya gereja setempat (lokal) untuk mengambil bagian dalam
pengungkapan Iman kepada Tuhan. Berbagai unsur budaya seperti seni rupa yaitu
ukir-ukiran khas, lukisan, bentuk bangunan gereja, pakain adat, tari-tarian
daerah dan lain sebagainya, mengikuti kebudayaan setempat. Selain itu musik
tradisi, nyanyian-nyanyian setempat diberikan ruang dalam perayaan musik
liturgi yang kini disebut sebagai inkulturasi liturgi. Gereja Katolik yang
telah berkembang di Papua, juga terus mengadakan inkulturasi liturgi, karena
hal ini merupakan persoalan pokok pastoral dalam gereja katolik, bagaimana
injil diungkapkan dan dihayati dalam hidup umat setempat dengan segala
budayanya. Inkulturasi liturgi bertujuan agar hal-hal yang kudus dari injil
dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat dapat menangkapnya dengan lebih
mudah, dan dapat berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif menurut cara yang
khas dari budaya setempat (dokumen Sacrosanctum
Concilium art.21). Selain itu inkulturasi bertunjuan untuk memiliki
kesatuan dengan tradisi dalam gereja Katolik atau ritus Romawi.
Gereja
Katolik memiliki tradisi nyanyian liturgi yang sangat jelas dan terbagai
menjadi dua yaitu nyanyian proporium dan ordinarium. Proporium berasal dari kata
latin “proporius” yang berarti
sendiri (kamus Latin Indonesia, 1969:692), artinya proporium adalah nyanyian yang syairnya tidak tetap, misalnya
nyanyian perarakan masuk (pembukaan), nyanyian persembahan, nyanyian perarakan
komuni, madah syukur sesudah komuni, dan nyanyian penutup; sedangkan ordinarium adalah kata latin “Ordinarius” yang berarti bahwa sesuatu
yang tetap, yang teratur menurut aturan; artinya bahwa ordinarium merupakan nyanyian yang tidak dapat diubahkan
kata-katanya karena merupakan sebuah doa yang dinyanyikan, misalnya; Tuhan
Kasihanlah Kami (kyrie), Kemuliaan (Gloria), Syahadat Iman (Credo), Kudus (Sanctus), Anak Domba Allah (Agnus
Dei), (Prier, 2009:142). Hal ini berarti bahwa, inkulturasi liturgi tidak
dilakukan atas dasar keinginan pribadi, kelompok tertentu misalnya para imam,
para ahli musik, para petugas liturgi dan umat setempat tetapi juga mesti
melibatkan persetujuan atau sepengetahuan dari pihak yang berwenang dalam gereja. Misalnya melalui para uskup
yang telah melakukan proses konferensi uskup sedaerah secara sah atas nyanyian
inkulturasi liturgi setempat (dokumen Sacrosanctum
Concilium art.22). Hal ini menjelaskan bahwa bagaimana inkulturasi liturgi
melalui proses yang panjang, tidak serta merta dilakukan atas dasar coba-coba
Gereja
Katolik di Papua, memiliki tantangan dalam melaksanakan inkulturasi liturgi
dengan baik. Ragam suku yang terbagi dari lima wilayah budaya menjadi kekayaan
yang dimiliki gereja Katolik di Papua, perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh.
Meskipun demikian, hampir semua keuskupan di Papua melakukan praktik
inkulturasi liturgi dengan penuh semangat, kreatif sampai-sampai unsur penting
dalam inkulturasi liturgi yang benar-benar menjadi budaya setempat diabaikan.
Inkulturasi liturgi yang umum dilaksanakan adalah berbagai nyanyian daerah dari
suku-suku yang ada di Papua, menterjemahkan teks-teks doa dalam bahasa
setempat, berbagai penyesuaian tata gerak liturgi seperti tari-tarian, busana
atau pakaian adat, tata ruang dalam gereja yang ditata dengan berbagai lukisan,
ukiran motif daerah setempat, altar dan mimbar yang dibuat khusus berbentuk
tifa dan lain sebagainya, bahan persembahan dari hasil bumi atau hasil kebun
umat setempat. Hal ini adalah usaha yang sangat baik yang dilakukan dalam
gereja Katolik di Papua, meskipun dari pengamatan yang penulis lakukan proses
persetujuan dari uskup-uskup setempat dalam konferensi untuk bebicara khusus
mengenai inkulturasi liturgi di Papua belum dilaksanakan. Praktik inkulturasi
liturgi yang dilaksanakan masih bersifat coba-coba dan yang penting jalan saja dulu.
Banyak
umat yang belum memahami tentang inkulturasi liturgi, apakah nyanyian berbahasa
daerah, busana daerah, tata ruang gereja, tari-tarian dan lain sebagainya telah
disebut sebagai inkulturasi liturgi dan telah mencapai tujuannya. Fakta yang
terjadi bahwa, salah satu dari inkulturasi liturgi yang sering digunakan adalah
nyanyian. Banyak terdapat pemahan yang keliru misalnya, nyanyian berbahasa
daerah yang dinyanyikan, sama sekali tidak memiliki unsur-unsur musik yang mencerminkan budaya setempat. Misalnya irama
walzt ¾ digunakan untuk mengiringi nyanyian berbahasa daerah, menggunakan beat
dengan keybord/electone. Pertanyaan yang muncul, apakah semua lagu berbahasa
daerah merupakan inkulturasi liturgi? Jika kita mendengar irama walzt, maka
kita akan pahami bahwa ini adalah irama untuk tarian ballet yang berasal dari Barat atau dari Eropa, meskipun lirik yang
dinyanyikan berbahasa daerah setempat. Apakah irama waltz merupakan irama
setempat? Tentu tidak, maka tidak semua nyanyian berbahasa daerah merupakan nyanyian
yang tepat dikatakan sebagai inkulturasi liturgi. Hal ini sering dilakukan di
hampir semua paroki pada keuskupan-keuskupan di Papua. Umat lebih senang
bernyanyi menggunakan iringan musik menggunakan beat keybord layaknya pesta
pernikahan.
Selain
itu terdapat salah pemahanan, orang menterjemahkan nyanyian liturgi yang telah
ada dalam buku Madah Bakti, misalnya
ordinarium bergaya flores ke dalam bahasa daerah setempat dan dinyanyikan
dalam misa sebagai inkulturasi liturgi Papua. Sekali lagi muncul pertanyaan
refleksi, apakah nyanyian yang berbahasa daerah setempat telah mewakili dan
disebut sebagai inkultutasi liturgi. Jika kita mendengar pola permainan ritme,
skala nada atau pola melodi bergaya flores, maka akan muncul pertanyaan apakah
nyanyian bergaya flores sama dengan nyanyian bergaya Papua? Apakah umat
setempat menghayati unsur musik bergaya flores tersebut sama dengan menghayati
unsur-unsur musik dari daerah setempat, untuk terhubung dengan sang pencipta?
Ungkapan bergaya Flores, bergaya Maluku, bergaya Batak diketahui atas dasar
studi penelitian, penemuan lapangan dalam tradisi setempat. Maka proses panjang
untuk mengetahui dan mempelajari budaya setempat, agar dimasukan dalam
inkulturasi liturgi sangat diperlukan. Kita dapat mengatakan gaya Papua Mee, gaya Papua Jayapura, gaya Papua Malind/Merauke dan lain-lain, jika telah
melakukan proses lapangan, pendokumentasian nyanyian tradisi, dan penemuan yang
sesuai dengan makna dari setiap nyanyian. Misalnya nyanyian ratapan, memiliki
unsur-unsur musik seperti nada, tempo, pola ritme, skala nada atau pola melodi
yang berbeda dengan nyanyian sukacita. Kesemuanya memiliki makna dan telah
dihayati oleh masyarakat setempat sebelum gereja hadir dan berkembang. Oleh
sebab itu, menjadi hal yang sangat penting dan mendasar untuk mengetahui
unsur-unsur musik dari setiap wilayah, sehingga pada saat nyanyian tersebut
dinyanyikan dengan unsur musik setempat atau gaya setempat, penghayatan akan
Tuhan dapat diterima dengan mudah.
Setiap
daerah memiliki nyanyian tradisi sebagai bentuk penghayatan dan penghubung
antara manusia dengan Tuhan dalam kepercayaan tradisi. Hal ini menjadi penting
untuk disertakan dalam inkulturasi liturgi agar tujuan liturgi yaitu; hal-hal
yang kudus dari injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat dapat
menangkapnya dengan lebih mudah, dan dapat berpartisipasi secara penuh, sadar
dan aktif menurut cara yang khas dari budaya. Artinya umat merasa memiliki
gereja, menjadi bagian dari gereja, dan diberi penghargaan yang tinggi oleh
gereja karena budayanya menjadi bagian dalam liturgi gereja. Penulis
mengapreasi segala pihak, para iman, dewan gereja dan umat yang telah berusaha
melaksanakan inkulturasi liturgi. Namun, fenomena yang terjadi dilapangan
membuktikan gereja Katolik di Papua, masih mencoba-mencoba, tempel sana tempel sini, dan tidak
melakukan studi mendalam terhadap makna unsur budaya yang akan dimasukan
kedalam perayaan liturgi inkulturatif tersebut. Selanjutnya, proses inkulturasi
liturgi tidak hanya sebatas pada persiapan dan keberhasilan pelaksanaan liturgi
atau ritual saja, tetapi harus sampai pada penghayatan yang berdampak pada kehidupan
sehari-hari. Praktik inkulturasi liturgi selama ini yang terjadi di Papua,
kebanyakan berhenti pada kemeriahan dan kehebatan perayaan liturgi/ritualnya
saja, namun dampak atau buah dari pelaksanaannya dalam iman yang nyata
terabaikan. Maka, proses panjang untuk mempersiapkan inkulturasi yang sesuai
dengan penghayatan hidup masyarakat setempat haruslah segera dilaksanakan untuk
mencapai tujuan inkulturasi liturgi dan maksud serta tujuan gereja Katolik yang
mulia dapat tercapai dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar