Minggu, 06 September 2020

 

MUSIK INKULTURASI LITURGI

GEREJA KATOLIK DI PAPUA

 

Septina Rosalina Layan

 

Sejak dilaksanakannya Konsili Vatikan Ke II pada tahun 1962-1965, gereja Katolik memberikan ruang yang besar kepada unsur-unsur budaya gereja setempat  (lokal) untuk mengambil bagian dalam pengungkapan Iman kepada Tuhan. Berbagai unsur budaya seperti seni rupa yaitu ukir-ukiran khas, lukisan, bentuk bangunan gereja, pakain adat, tari-tarian daerah dan lain sebagainya, mengikuti kebudayaan setempat. Selain itu musik tradisi, nyanyian-nyanyian setempat diberikan ruang dalam perayaan musik liturgi yang kini disebut sebagai inkulturasi liturgi. Gereja Katolik yang telah berkembang di Papua, juga terus mengadakan inkulturasi liturgi, karena hal ini merupakan persoalan pokok pastoral dalam gereja katolik, bagaimana injil diungkapkan dan dihayati dalam hidup umat setempat dengan segala budayanya. Inkulturasi liturgi bertujuan agar hal-hal yang kudus dari injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat dapat menangkapnya dengan lebih mudah, dan dapat berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif menurut cara yang khas dari budaya setempat (dokumen Sacrosanctum Concilium art.21). Selain itu inkulturasi bertunjuan untuk memiliki kesatuan dengan tradisi dalam gereja Katolik atau ritus Romawi.

Gereja Katolik memiliki tradisi nyanyian liturgi yang sangat jelas dan terbagai menjadi dua yaitu nyanyian proporium dan ordinarium. Proporium berasal dari kata latin “proporius” yang berarti sendiri (kamus Latin Indonesia, 1969:692), artinya proporium adalah nyanyian yang syairnya tidak tetap, misalnya nyanyian perarakan masuk (pembukaan), nyanyian persembahan, nyanyian perarakan komuni, madah syukur sesudah komuni, dan nyanyian penutup; sedangkan ordinarium adalah kata latin “Ordinarius” yang berarti bahwa sesuatu yang tetap, yang teratur menurut aturan; artinya bahwa ordinarium merupakan nyanyian yang tidak dapat diubahkan kata-katanya karena merupakan sebuah doa yang dinyanyikan, misalnya; Tuhan Kasihanlah Kami (kyrie), Kemuliaan (Gloria), Syahadat Iman (Credo), Kudus (Sanctus), Anak Domba Allah (Agnus Dei), (Prier, 2009:142). Hal ini berarti bahwa, inkulturasi liturgi tidak dilakukan atas dasar keinginan pribadi, kelompok tertentu misalnya para imam, para ahli musik, para petugas liturgi dan umat setempat tetapi juga mesti melibatkan persetujuan atau sepengetahuan dari pihak yang berwenang  dalam gereja. Misalnya melalui para uskup yang telah melakukan proses konferensi uskup sedaerah secara sah atas nyanyian inkulturasi liturgi setempat (dokumen Sacrosanctum Concilium art.22). Hal ini menjelaskan bahwa bagaimana inkulturasi liturgi melalui proses yang panjang, tidak serta merta dilakukan atas dasar coba-coba

Gereja Katolik di Papua, memiliki tantangan dalam melaksanakan inkulturasi liturgi dengan baik. Ragam suku yang terbagi dari lima wilayah budaya menjadi kekayaan yang dimiliki gereja Katolik di Papua, perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh. Meskipun demikian, hampir semua keuskupan di Papua melakukan praktik inkulturasi liturgi dengan penuh semangat, kreatif sampai-sampai unsur penting dalam inkulturasi liturgi yang benar-benar menjadi budaya setempat diabaikan. Inkulturasi liturgi yang umum dilaksanakan adalah berbagai nyanyian daerah dari suku-suku yang ada di Papua, menterjemahkan teks-teks doa dalam bahasa setempat, berbagai penyesuaian tata gerak liturgi seperti tari-tarian, busana atau pakaian adat, tata ruang dalam gereja yang ditata dengan berbagai lukisan, ukiran motif daerah setempat, altar dan mimbar yang dibuat khusus berbentuk tifa dan lain sebagainya, bahan persembahan dari hasil bumi atau hasil kebun umat setempat. Hal ini adalah usaha yang sangat baik yang dilakukan dalam gereja Katolik di Papua, meskipun dari pengamatan yang penulis lakukan proses persetujuan dari uskup-uskup setempat dalam konferensi untuk bebicara khusus mengenai inkulturasi liturgi di Papua belum dilaksanakan. Praktik inkulturasi liturgi yang dilaksanakan masih bersifat coba-coba dan yang penting jalan saja dulu.

Banyak umat yang belum memahami tentang inkulturasi liturgi, apakah nyanyian berbahasa daerah, busana daerah, tata ruang gereja, tari-tarian dan lain sebagainya telah disebut sebagai inkulturasi liturgi dan telah mencapai tujuannya. Fakta yang terjadi bahwa, salah satu dari inkulturasi liturgi yang sering digunakan adalah nyanyian. Banyak terdapat pemahan yang keliru misalnya, nyanyian berbahasa daerah yang dinyanyikan, sama sekali tidak memiliki unsur-unsur musik yang  mencerminkan budaya setempat. Misalnya irama walzt ¾ digunakan untuk mengiringi nyanyian berbahasa daerah, menggunakan beat dengan keybord/electone. Pertanyaan yang muncul, apakah semua lagu berbahasa daerah merupakan inkulturasi liturgi? Jika kita mendengar irama walzt, maka kita akan pahami bahwa ini adalah irama untuk tarian ballet yang berasal dari Barat atau dari Eropa, meskipun lirik yang dinyanyikan berbahasa daerah setempat. Apakah irama waltz merupakan irama setempat? Tentu tidak, maka tidak semua nyanyian berbahasa daerah merupakan nyanyian yang tepat dikatakan sebagai inkulturasi liturgi. Hal ini sering dilakukan di hampir semua paroki pada keuskupan-keuskupan di Papua. Umat lebih senang bernyanyi menggunakan iringan musik menggunakan beat keybord layaknya pesta pernikahan.

Selain itu terdapat salah pemahanan, orang menterjemahkan nyanyian liturgi yang telah ada dalam buku Madah Bakti, misalnya ordinarium bergaya flores ke dalam bahasa daerah setempat dan dinyanyikan dalam misa sebagai inkulturasi liturgi Papua. Sekali lagi muncul pertanyaan refleksi, apakah nyanyian yang berbahasa daerah setempat telah mewakili dan disebut sebagai inkultutasi liturgi. Jika kita mendengar pola permainan ritme, skala nada atau pola melodi bergaya flores, maka akan muncul pertanyaan apakah nyanyian bergaya flores sama dengan nyanyian bergaya Papua? Apakah umat setempat menghayati unsur musik bergaya flores tersebut sama dengan menghayati unsur-unsur musik dari daerah setempat, untuk terhubung dengan sang pencipta? Ungkapan bergaya Flores, bergaya Maluku, bergaya Batak diketahui atas dasar studi penelitian, penemuan lapangan dalam tradisi setempat. Maka proses panjang untuk mengetahui dan mempelajari budaya setempat, agar dimasukan dalam inkulturasi liturgi sangat diperlukan. Kita dapat mengatakan gaya Papua Mee, gaya Papua Jayapura, gaya Papua Malind/Merauke dan lain-lain, jika telah melakukan proses lapangan, pendokumentasian nyanyian tradisi, dan penemuan yang sesuai dengan makna dari setiap nyanyian. Misalnya nyanyian ratapan, memiliki unsur-unsur musik seperti nada, tempo, pola ritme, skala nada atau pola melodi yang berbeda dengan nyanyian sukacita. Kesemuanya memiliki makna dan telah dihayati oleh masyarakat setempat sebelum gereja hadir dan berkembang. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat penting dan mendasar untuk mengetahui unsur-unsur musik dari setiap wilayah, sehingga pada saat nyanyian tersebut dinyanyikan dengan unsur musik setempat atau gaya setempat, penghayatan akan Tuhan dapat diterima dengan mudah.

Setiap daerah memiliki nyanyian tradisi sebagai bentuk penghayatan dan penghubung antara manusia dengan Tuhan dalam kepercayaan tradisi. Hal ini menjadi penting untuk disertakan dalam inkulturasi liturgi agar tujuan liturgi yaitu; hal-hal yang kudus dari injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat dapat menangkapnya dengan lebih mudah, dan dapat berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif menurut cara yang khas dari budaya. Artinya umat merasa memiliki gereja, menjadi bagian dari gereja, dan diberi penghargaan yang tinggi oleh gereja karena budayanya menjadi bagian dalam liturgi gereja. Penulis mengapreasi segala pihak, para iman, dewan gereja dan umat yang telah berusaha melaksanakan inkulturasi liturgi. Namun, fenomena yang terjadi dilapangan membuktikan gereja Katolik di Papua, masih mencoba-mencoba, tempel sana tempel sini, dan tidak melakukan studi mendalam terhadap makna unsur budaya yang akan dimasukan kedalam perayaan liturgi inkulturatif tersebut. Selanjutnya, proses inkulturasi liturgi tidak hanya sebatas pada persiapan dan keberhasilan pelaksanaan liturgi atau ritual saja, tetapi harus sampai pada penghayatan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari. Praktik inkulturasi liturgi selama ini yang terjadi di Papua, kebanyakan berhenti pada kemeriahan dan kehebatan perayaan liturgi/ritualnya saja, namun dampak atau buah dari pelaksanaannya dalam iman yang nyata terabaikan. Maka, proses panjang untuk mempersiapkan inkulturasi yang sesuai dengan penghayatan hidup masyarakat setempat haruslah segera dilaksanakan untuk mencapai tujuan inkulturasi liturgi dan maksud serta tujuan gereja Katolik yang mulia dapat tercapai dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musik Inkulturasi Liturgi Gereja Katolik di Papua

  PESTA PADUAN SUARA GEREJANI (PESPARANI) KATOLIK Pesta atau Lomba? Septina Rosalina Layan Sebelum penulis menguraikan tentang...