Minggu, 06 September 2020

 

PESTA PADUAN SUARA GEREJANI (PESPARANI) KATOLIK

Pesta atau Lomba?


Septina Rosalina Layan

Sebelum penulis menguraikan tentang apa itu PESPARANI Katolik, proses persiapan dan pelaksanaanya, perlu pemahaman tentang apa itu pesta/festival dan apa itu lomba. Kata festival, berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata dasar “festa” yang artinya pesta; merupakan suatu pesta besar, sesuatu yang meriah untuk merayakan atau memperingati sesuatu, peristiwa penting atau bersejarah (https://id.wikipedia.org/wiki/Festival, diakses tanggal 20 Mei 2020). Misalnya Festival Jazz Gunung yang diprakarsai oleh tiga seniman besar Indonesia yaitu Sigit Pranomo, Butet Kartaredjasa, dan Djaduk Ferianto, merupakan festival musik yang digelar untuk memadukan kebebasan jiwa dengan kearifan alam pengunungan yang telah menjadi simbol budaya nusantara dan menampilkan kreasi hibrida antara jazz dan aneka instrumen musik lokal serta berhasil menjadi tempat sarana kontemplasi terbaik melalui musik (https://www.blibli.com/friends/blog/mengintip-sejarah- berbagai-festival-musik-terpopuler-di-indonesia/, diakses tanggal 20 Mei 2020). Begitu pula dengan Jakarta International Java Jazz Festival atau populer disebut dengan Java Jazz Festival, yang kini menjadi festival musik terbesar di Indonesia, bertujuan untuk memasyarakatkan musik jazz, memberikan pemahaman tentang musik jazz kepada masyarakat luas; festival ini merupakan ajang pertemuan musisi jazz Indonesia dan bahkan dunia (https://www.blibli.com/friends/blog/mengintip- sejarah-berbagai-festival-musik-terpopuler-di-indonesia/, diakses tanggal 20 Mei 2020).

Dari definisi festival/pesta dan beberapa contoh di atas, jelas bahwa festival/pesta merupakan suatu pertemuan yang menghadirkan kebersamaan, saling berbagi dan mendapatkan pegalaman dari proses tersebut. Hal ini berbeda dengan lomba. Menurut KBBI, lomba difenisikan menjadi dua yaitu; adu kecepatan misalnya; berlari, berenang dan sebagainya dan adu keterampilan misalnya, ketangkasan, kekuatan dan sebagainya. Lomba merupakan suatu peristiwa saling beradu kekuatan ketangkasan, saling bersaing untuk mencapai siapa yang terbaik. Lomba mengarahkan individu ataupun kelompok agar berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai suatu target yang diharapkan, terdapat hakim atau juri yang bertugas untuk menilai dan memutuskan mana yang terbaik. Ketika pesta/festival menekankan kebersamaan, pengalaman pengetahuan dan sukacita dalam merayakan sesuatu yang dirayakan, lomba lebih menekankan tentang suatu persaingan, saling beradu kekuatan, kehebatan, keterampilan, ketangkasan dan berakhir pada menang atau kalah.

PESPARANI merupakan singkatan dari Pesta Paduan Suara Gerejani Katolik, difasilitasi oleh Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Katolik Kementrian Agama Republik Indonesia. Diselenggarakan oleh Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan PESPRANI Katolik Nasional (LP3KN), dan Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan PESPRANI Katolik Daerah (LP3KD) ditingkat Provinsi dan Kabupaten/kota. Penyelengaraanya, dimulai dari tingkat stasi (lingkungan/Komunitas Basis/tingkat RT RW/kecamatan), paroki (tingkat kabupaten), keuskupan (tingkat provinsi) dan sampai pada semua keuskupan bertemu (tingkat nasional). (https://pesparani.or.id/2020/03/12/, diakses tanggal 10 Mei 2020)

PESPARANI merupakan kegiatan yang baru saja dimulai dalam lingkup gereja Katolik, berbeda dengan PESPARAWI (Pesta Paduan Suara Gerejawi) oleh dedominasi gereja kristen protestan yang telah berlangsung lebih lama. Tujuan dari PESPARANI adalah untuk mengembangkan semangat umat dalam pelayanan, membina paduan suara dari tingkat stasi, paroki dan keuskupan, terus menghidupkan tradisi gereja Katolik dalam nyanyian gregorian dan nyanyian Mazmur, serta mempererat tali persaudaraan antara umat Allah di seluruh Indonesia. PESPARANI menjadi kegiatan yang penting dalam mengembangkan sumber daya manusia dalam gereja katolik. Hal ini perlu diapresiasi, karena merupakan wadah baru yang sangat didukung oleh pemerintah. Setiap kabupaten/kota dan Provinsi memberikan anggaran dana dari APBD dan APBN untuk terselenggaranya kegiatan ini. Hal ini terbukti dengan, keterlibatan 34 provinsi di Indonesia dalam PESPARANI tingkat Nasional yang pertamakali diselenggarakan di Kota Ambon pada tanggal 27 Oktober – 2 November 2018 (https://pesparani.or.id/2020/03/12/, diakseses tanggal 10 Mei 2020). Oleh karena itu, PESPARANI merupakan sarana dan media yang kini penting, dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan musik dalam liturgi gereja Katolik.

Pada penyelenggaraannya, terdapat berbagai kegiatan seperti seminar, pertunjukan budaya dan berbagai perlombaan. Seminar dilakukan setelah perlombaan dan pertunjukan budaya dilakukan selama PESPRANI di laksanakan. Namun, seminar dan bazar budaya tidak menjadi prioritas dari kegiatan ini. Hal ini terlihat dari minat dan keterlibatan para peserta dalam mengikutinya. Para peserta lebih terfokus dan mempersiapkan kondisi mental dan kesehatan yang prima dalam mengikuti perlombaan. Jenis lomba yang diikuti oleh para peserta dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Nasional yaitu; Paduan Suara Dewasa Campuran (PSDC), Paduan Suara Dewasa Wanita (PSDW), Paduan Suara Dewasa Pria Gregorian (PSDPG), Paduan Suara OMK Campuran (PSOC), Paduan Suara Anak (PSA), Paduan Suara Gregorian Remaja (PSGR), Mazmur Anak, Mazmur Remaja, Mazmur Dewasa, Cerdas Cermat Alkita (CCA) dan Cerita/bertutur Kitab Suci. Dari semua mata lomba, diungkapkan bahwa ada satu mata lomba yang sangat bergengsi yaitu lomba Paduan Suara Desawasa Campuran (PSDC) yang tentunya sangat dinantikan oleh setiap peserta dalam menampilkan kelompoknya ataupun menyaksikan kelompok lainnya (https://pesparani.or.id/2020/03/12/, diakseses tanggal 10 Mei 2020). Penyelenggaraan Pesparani sebagai lomba menimbulkan kesan persaingan yang cukup tinggi. Dari pengamatan lapangan, dan keterlibatan langsung, masing-masing tim berusaha mempersiapkan kontingen dengan sangat baik, mulai dari proses audisi yang ketat untuk menemukan personil yang tepat pada setiap mata lomba, dan hal ini menimbulkan persoalan baru dikalangan umat; misalnya umat yang sering melayani dalam paduan suara digereja menganggap bahwa proses audisi mematikan kesempatan orang/umat yang selama ini telah aktif untuk bergabung dalam tim PESPARANI. Ketika seseorang yang sangat rajin melakukan pelayanan dalam paduan suara dari tingkat Komunitas basis (kombas) dan Paroki, tetapi ia tidak sempat memiliki waktu untuk mengikuti proses audisi, maka dengan sendirinya ia tidak tergabung dalam tim. Begitu pula sebaliknya, proses audisi menguntungkan umat yang jarang atau tidak sama sekali mengikuti pelayanan, tetapi ia memiliki waktu untuk mengikuti proses audisi dan dianggap mampu, maka ia akan tergabung dalam tim. Padahal, Pesparani hadir sebagai wadah untuk mengembangkan semangat umat dalam bernyanyi dan pelayanan, jika ada umat yang selama ini tidak aktif dalam pelayan di lingkungan/Kombas dan ingin terlibat dalam tim dengan mengikuti proses audisi, maka perlu diapresiasi dan terus di jaga, tetapi juga perlu mempertimbangkan umat yang sebelumnya telah aktif dalam pelayanan agar diprioritaskan bergabung dalam tim. Persoalan-persoalan ini timbul ketika, Pesparani berorientasi sebagai lomba. Semangat bersaing dan ingin menampilkan yang terbaik dengan sendirinya atau tanpa disadari telah mengarahkan pada keputusan dan kebijakan yang tidak bertoleransi. Setelah proses seleksi yang memiliki dinamikanya tersendiri, LP3KD Provinsi maupun kota/kabupaten juga mendatangkan pelatih khusus yang dianggap sangat berkompeten dari luar daerah dengan biaya yang cukup besar, untuk membantu persiapan Pesparani di kota/kabupaten tersebut. Para panitia daerah yang sering disebut sebagai tim official berusaha mempersiapkan anggota paduan suaranyadengan baik. Anggaran yang cukup besar dihabiskan untuk mencapai persiapan maksimal yang diharapakan timnya dapat menjadi yang terbaik dalam PESPARANI.

Orientasi Pesparani sebagai lomba, menciptakan motivasi persaingan yang sangat kuat mulai dari persiapan sampai pada penyelenggaraan PESPARANI itu sendiri. Saat lomba digelar, para peserta yang tampil akan medapatkan dukungan atau sporter dari kontingennya dengan penuh semangat, dan setelah peserta tersebut selesai bernyanyi, para sporter itu akan keluar gedung perlombaan dan tidak lagi menyaksikan peserta yang lain. Kesan para penonton yang hanya mau meyaksikan peserta yang didukungnya tersebut, menghilangkan semangat kebersamaan dan persaudaraan serta apresiasi. Begitu pula, setelah perlombaan selesai, para peserta akan mendengar hasil juara lomba masing-masing kategori. Nampak berbagai tanggapan dari para peserta lomba, ada yang menerima hasil keputusan dewan juri dengan senang hati, tetapi ada pula yang tidak menerima hasil keputusan dewan juri. Terjadi saling kritik mengkritik dan protes memprotes hasil perlombaan.

PESPARANI yang adalah ajang bertemu dan berbagi kasih dalam satu iman, melantunkan puji-pujian untuk memuliakan Tuhan, justru terlihat menjadi ajang perlombaan yang sangat kompetitif dan bersaing. Jika PESPARANI terus dilaksanakan sebagai ajang perlombaan, makna Pesta yang sesungguhnya sebagai tujuan dari kegiatan ini akan hilang. Hal ini perlu dievaluasi dan diperbaiki kearah makna yang sesungguhnya, yakni menjadi wadah pertemuan umat katolik, untuk merayakan keragaman budaya dalam satu iman. Memberikan rasa bahagia untuk terlibat dengan sukacita, mendapatkan pengetahuan melalui seminar (fokus dan berkualitas), lokakarya, pelatihan-pelatihan yang lebih bermanfaat, mengadakan konser dan pengalangan dana (penganti perlombaan) yang dapat digunakan untuk pengembangan fasilitas musik liturgi, menjadi ajang permberian penghargaan atas suatu karya kepada komposer atau pecipta lagu-lagu liturgi dari berbagai daerah, atau hal-hal yang dimaknai dalam sebuah pesta seni terkhusus dalam paduan suara. Ketika hal ini terjadi, maka para peserta tidak lagi merasa saling bersaing satu dengan lainya, tetapi saling berbagi kasih, ilmu dan mempererat persaudaraan. Para peserta dapat pulang kedaerah/rumah masing-masing dengan perasaan sukacita, membawa pengetahuan/ilmu, pengalaman baru dan memiliki kerinduan untuk perjumpa kembali. Jika PESPRANI terus dimaknai dan dilaksanakan sebagai suatu lomba, maka kebersamaan, sukacita, kebahagiaan akan pengalaman dan pengetahuan yang sesungguhnya akan menjadi wacana semata.

 

MUSIK INKULTURASI LITURGI

GEREJA KATOLIK DI PAPUA

 

Septina Rosalina Layan

 

Sejak dilaksanakannya Konsili Vatikan Ke II pada tahun 1962-1965, gereja Katolik memberikan ruang yang besar kepada unsur-unsur budaya gereja setempat  (lokal) untuk mengambil bagian dalam pengungkapan Iman kepada Tuhan. Berbagai unsur budaya seperti seni rupa yaitu ukir-ukiran khas, lukisan, bentuk bangunan gereja, pakain adat, tari-tarian daerah dan lain sebagainya, mengikuti kebudayaan setempat. Selain itu musik tradisi, nyanyian-nyanyian setempat diberikan ruang dalam perayaan musik liturgi yang kini disebut sebagai inkulturasi liturgi. Gereja Katolik yang telah berkembang di Papua, juga terus mengadakan inkulturasi liturgi, karena hal ini merupakan persoalan pokok pastoral dalam gereja katolik, bagaimana injil diungkapkan dan dihayati dalam hidup umat setempat dengan segala budayanya. Inkulturasi liturgi bertujuan agar hal-hal yang kudus dari injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat dapat menangkapnya dengan lebih mudah, dan dapat berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif menurut cara yang khas dari budaya setempat (dokumen Sacrosanctum Concilium art.21). Selain itu inkulturasi bertunjuan untuk memiliki kesatuan dengan tradisi dalam gereja Katolik atau ritus Romawi.

Gereja Katolik memiliki tradisi nyanyian liturgi yang sangat jelas dan terbagai menjadi dua yaitu nyanyian proporium dan ordinarium. Proporium berasal dari kata latin “proporius” yang berarti sendiri (kamus Latin Indonesia, 1969:692), artinya proporium adalah nyanyian yang syairnya tidak tetap, misalnya nyanyian perarakan masuk (pembukaan), nyanyian persembahan, nyanyian perarakan komuni, madah syukur sesudah komuni, dan nyanyian penutup; sedangkan ordinarium adalah kata latin “Ordinarius” yang berarti bahwa sesuatu yang tetap, yang teratur menurut aturan; artinya bahwa ordinarium merupakan nyanyian yang tidak dapat diubahkan kata-katanya karena merupakan sebuah doa yang dinyanyikan, misalnya; Tuhan Kasihanlah Kami (kyrie), Kemuliaan (Gloria), Syahadat Iman (Credo), Kudus (Sanctus), Anak Domba Allah (Agnus Dei), (Prier, 2009:142). Hal ini berarti bahwa, inkulturasi liturgi tidak dilakukan atas dasar keinginan pribadi, kelompok tertentu misalnya para imam, para ahli musik, para petugas liturgi dan umat setempat tetapi juga mesti melibatkan persetujuan atau sepengetahuan dari pihak yang berwenang  dalam gereja. Misalnya melalui para uskup yang telah melakukan proses konferensi uskup sedaerah secara sah atas nyanyian inkulturasi liturgi setempat (dokumen Sacrosanctum Concilium art.22). Hal ini menjelaskan bahwa bagaimana inkulturasi liturgi melalui proses yang panjang, tidak serta merta dilakukan atas dasar coba-coba

Gereja Katolik di Papua, memiliki tantangan dalam melaksanakan inkulturasi liturgi dengan baik. Ragam suku yang terbagi dari lima wilayah budaya menjadi kekayaan yang dimiliki gereja Katolik di Papua, perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh. Meskipun demikian, hampir semua keuskupan di Papua melakukan praktik inkulturasi liturgi dengan penuh semangat, kreatif sampai-sampai unsur penting dalam inkulturasi liturgi yang benar-benar menjadi budaya setempat diabaikan. Inkulturasi liturgi yang umum dilaksanakan adalah berbagai nyanyian daerah dari suku-suku yang ada di Papua, menterjemahkan teks-teks doa dalam bahasa setempat, berbagai penyesuaian tata gerak liturgi seperti tari-tarian, busana atau pakaian adat, tata ruang dalam gereja yang ditata dengan berbagai lukisan, ukiran motif daerah setempat, altar dan mimbar yang dibuat khusus berbentuk tifa dan lain sebagainya, bahan persembahan dari hasil bumi atau hasil kebun umat setempat. Hal ini adalah usaha yang sangat baik yang dilakukan dalam gereja Katolik di Papua, meskipun dari pengamatan yang penulis lakukan proses persetujuan dari uskup-uskup setempat dalam konferensi untuk bebicara khusus mengenai inkulturasi liturgi di Papua belum dilaksanakan. Praktik inkulturasi liturgi yang dilaksanakan masih bersifat coba-coba dan yang penting jalan saja dulu.

Banyak umat yang belum memahami tentang inkulturasi liturgi, apakah nyanyian berbahasa daerah, busana daerah, tata ruang gereja, tari-tarian dan lain sebagainya telah disebut sebagai inkulturasi liturgi dan telah mencapai tujuannya. Fakta yang terjadi bahwa, salah satu dari inkulturasi liturgi yang sering digunakan adalah nyanyian. Banyak terdapat pemahan yang keliru misalnya, nyanyian berbahasa daerah yang dinyanyikan, sama sekali tidak memiliki unsur-unsur musik yang  mencerminkan budaya setempat. Misalnya irama walzt ¾ digunakan untuk mengiringi nyanyian berbahasa daerah, menggunakan beat dengan keybord/electone. Pertanyaan yang muncul, apakah semua lagu berbahasa daerah merupakan inkulturasi liturgi? Jika kita mendengar irama walzt, maka kita akan pahami bahwa ini adalah irama untuk tarian ballet yang berasal dari Barat atau dari Eropa, meskipun lirik yang dinyanyikan berbahasa daerah setempat. Apakah irama waltz merupakan irama setempat? Tentu tidak, maka tidak semua nyanyian berbahasa daerah merupakan nyanyian yang tepat dikatakan sebagai inkulturasi liturgi. Hal ini sering dilakukan di hampir semua paroki pada keuskupan-keuskupan di Papua. Umat lebih senang bernyanyi menggunakan iringan musik menggunakan beat keybord layaknya pesta pernikahan.

Selain itu terdapat salah pemahanan, orang menterjemahkan nyanyian liturgi yang telah ada dalam buku Madah Bakti, misalnya ordinarium bergaya flores ke dalam bahasa daerah setempat dan dinyanyikan dalam misa sebagai inkulturasi liturgi Papua. Sekali lagi muncul pertanyaan refleksi, apakah nyanyian yang berbahasa daerah setempat telah mewakili dan disebut sebagai inkultutasi liturgi. Jika kita mendengar pola permainan ritme, skala nada atau pola melodi bergaya flores, maka akan muncul pertanyaan apakah nyanyian bergaya flores sama dengan nyanyian bergaya Papua? Apakah umat setempat menghayati unsur musik bergaya flores tersebut sama dengan menghayati unsur-unsur musik dari daerah setempat, untuk terhubung dengan sang pencipta? Ungkapan bergaya Flores, bergaya Maluku, bergaya Batak diketahui atas dasar studi penelitian, penemuan lapangan dalam tradisi setempat. Maka proses panjang untuk mengetahui dan mempelajari budaya setempat, agar dimasukan dalam inkulturasi liturgi sangat diperlukan. Kita dapat mengatakan gaya Papua Mee, gaya Papua Jayapura, gaya Papua Malind/Merauke dan lain-lain, jika telah melakukan proses lapangan, pendokumentasian nyanyian tradisi, dan penemuan yang sesuai dengan makna dari setiap nyanyian. Misalnya nyanyian ratapan, memiliki unsur-unsur musik seperti nada, tempo, pola ritme, skala nada atau pola melodi yang berbeda dengan nyanyian sukacita. Kesemuanya memiliki makna dan telah dihayati oleh masyarakat setempat sebelum gereja hadir dan berkembang. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat penting dan mendasar untuk mengetahui unsur-unsur musik dari setiap wilayah, sehingga pada saat nyanyian tersebut dinyanyikan dengan unsur musik setempat atau gaya setempat, penghayatan akan Tuhan dapat diterima dengan mudah.

Setiap daerah memiliki nyanyian tradisi sebagai bentuk penghayatan dan penghubung antara manusia dengan Tuhan dalam kepercayaan tradisi. Hal ini menjadi penting untuk disertakan dalam inkulturasi liturgi agar tujuan liturgi yaitu; hal-hal yang kudus dari injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat dapat menangkapnya dengan lebih mudah, dan dapat berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif menurut cara yang khas dari budaya. Artinya umat merasa memiliki gereja, menjadi bagian dari gereja, dan diberi penghargaan yang tinggi oleh gereja karena budayanya menjadi bagian dalam liturgi gereja. Penulis mengapreasi segala pihak, para iman, dewan gereja dan umat yang telah berusaha melaksanakan inkulturasi liturgi. Namun, fenomena yang terjadi dilapangan membuktikan gereja Katolik di Papua, masih mencoba-mencoba, tempel sana tempel sini, dan tidak melakukan studi mendalam terhadap makna unsur budaya yang akan dimasukan kedalam perayaan liturgi inkulturatif tersebut. Selanjutnya, proses inkulturasi liturgi tidak hanya sebatas pada persiapan dan keberhasilan pelaksanaan liturgi atau ritual saja, tetapi harus sampai pada penghayatan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari. Praktik inkulturasi liturgi selama ini yang terjadi di Papua, kebanyakan berhenti pada kemeriahan dan kehebatan perayaan liturgi/ritualnya saja, namun dampak atau buah dari pelaksanaannya dalam iman yang nyata terabaikan. Maka, proses panjang untuk mempersiapkan inkulturasi yang sesuai dengan penghayatan hidup masyarakat setempat haruslah segera dilaksanakan untuk mencapai tujuan inkulturasi liturgi dan maksud serta tujuan gereja Katolik yang mulia dapat tercapai dengan baik.

Musik Inkulturasi Liturgi Gereja Katolik di Papua

  PESTA PADUAN SUARA GEREJANI (PESPARANI) KATOLIK Pesta atau Lomba? Septina Rosalina Layan Sebelum penulis menguraikan tentang...